Jumat, 03 Mei 2013

Yusak Hutapea, Guru Pertama Orang Rimba

Yusak Adrean Hutapea (kanan) mengajar anak Orang Rimba di Jambi. Yusak meninggal tahun 1999 karena malaria


Tak banyak yang mengetahui kiprah Yusak Adrean Hutapea (almarhum) dalam membuka cakrawala pendidikan di tengah belantara Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Provinsi Jambi. Padahal, Yusak merupakan orang pertama yang melakukan advokasi pendidikan terhadap orang rimba Jambi.

Bersama KKI Warsi--lembaga yang pertama kali mengenalkan pendidikan alternatif kepada orang rimba--Yusak masuk ke TNBD tahun 1998. Studi awal pilot projek pendidikan dilakukannya pertengahan tahun 1998 di daerah Makekal Hulu dan Makekal Hilir.

Upaya advokasi ini tidak langsung berjalan mulus. Memberikan pendidikan bagi orang rimba tidak mudah. Orang rimba berkeyakinan bahwa semua yang datang dari budaya luar akan mengubah adat dan budaya mereka. Pendidikan dipandang sebagai sumber malapetaka jika mereka ikut mempelajari.

Penolakan itu tidak membuat Yusak menyerah. Baginya sebuah penolakan bukan alasan untuk membiarkan orang rimba terus terkungkung dalam keterbelakangan. Harapannya tak muluk-muluk, hanya ingin mengajari orang rimba bisa baca tulis dan hitung. Sehingga mereka mampu membela hak dan kepentingan minoritas mereka yang semakin terdesak oleh pengaruh dari masyarakat luar.

Dari catatan KKI Warsi, pada 27 Juli 1998, kerja keras Yusak membuahkan hasil. Pagi itu, Terenong, Pengusai, Beseling, Grip, Mendawai, dan Ngentepi, menjadi murid pertama yang akan mengikuti pelajaran. Namun, membangun sekolah alternatif bagi orang rimba ternyata tidak gampang. Serangan penyakit, serta rintangan lainnya tidak membuat Yusak menyerah.

Diki Kurniawan, rekan seperjuangan Yusak di Warsi mengungkapkan--agar tidak menimbulkan kecurigaan--peralatan belajar yang dipakai Yusak saat itu juga diambil dari benda-benda yang ada di sekitar orang rimba. Pada masa-masa awal, tak ada alat tulis dan buku-buku.

Sebagai pengganti, Yusak menggunakan ranting, tanah, dan arang. Mereka bisa menulis di atas tanah atau dinding-dinding pondok.

"Yang jelas, pada waktu itu jangan sampai atribut luar banyak masuk. Sehingga dalam mengajar, almarhum menggunakan media tanah, arang, dan kapur. Kegiatan coret-coret bisa di papan pondok. Sehingga papan itu dipenuhi gambar dan huruf-huruf," ceritanya, baru-baru ini.

Namun, apa mau dikata, belum lama orang rimba mengikuti pendidikan, tiba-tiba mereka dirundung kesedihan. Pada 25 Maret 1999, Yusak meninggal akibat serangan malaria. Meski Yusak, sebagai guru pertama sudah meninggal, kegiatan pendidikan terus berlanjut.

Selama rentang waktu 1998-2013, fasilitator pendidikan yang mengabdikan diri di Warsi tercatat sebanyak 14 orang. Yaitu, Saur Marlina Manurung (Butet), Oceu Apristawijaya, Saripul Alamsyah Siregar, Agustina D Siahaan, Ninuk Setya Utami, Fery Apriadi, Galih Sekar Tyas Sandra, Abdul Rahman, Kartika Sari, Priyo Uji Sukmawan (almarhum), Karlina, Nazariah dan Huzer Apriansah.

Setelah melewati proses panjang, saat ini sekitar 400 orang rimba sudah memiliki kemampuan baca tulis dan hitung. Proses pendampingan pendidikan pun telah menyentuh berbagai aspek, termasuk advokasi kebijakan pendidikan terhadap orang rimba. KKI Warsi mencoba mendorong negara untuk ikut terlibat aktif memberikan layanan pendidikan formal yang spesifik bagi orang rimba.

Dikatakan Rudy Syaf, Manager KKI Warsi, sudah 14 tahun Yusak meninggal, namun semangat yang diusungnya akan terus berjalan. Tujuannya adalah terpenuhinya hak-hak hidup orang rimba sebagai bagian dari warga negara, termasuk di bidang pendidikan. Sebab selama ini, negara pada kenyataannya belum berhasil memenuhi hak-hak hidup orang rimba sebagaimana mestinya.

"Selain mengenang meninggalnya Yusak, kami ingin terus menyimpan semangatnya supaya tidak lupa. Kami tidak ingin mengkultuskan Yusak. Namun harus tetap diingat supaya spirit-nya tetap ada," ujarnya.

sumber : vivanews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...