Selasa, 14 Mei 2013

Walikota Osaka Dukung Perlakuan atas Budak Seks Selama Perang Dunia II


Walikota Osaka, Jepang, Toru Hashimoto, menuai kecaman lantaran pernyataannya yang kontroversial. Menurut dia, peran para jugun ianfu (wanita penghibur) - yang lebih dikenal sebagai budak seks di negara-negara jajahan Jepang - selama Perang Dunia II sangat diperlukan oleh tentara Jepang saat itu.

Toru Hashimoto, seperti dilansir The New York Times 13 Mei 2013, mengatakan bahwa jugun ianfu penting untuk menghilangkan stres para tentara saat peperangan.

"Ketika tentara mempertaruhkan nyawa mereka berlari di antara terjangan peluru, dan kita ingin memberikan tentara ini tempat istirahat, maka kita perlu wanita penghibur. Semua orang sudah tahu itu," kata Hashimoto.

Dia mengatakan, praktik ini tidak hanya dilakukan oleh Jepang. Beberapa negara saat perang juga menggunakan jasa pelacur untuk menenangkan para serdadu. Selain itu, ujarnya, tidak ada bukti bahwa Jepang terlibat dalam penculikan para wanita untuk dijadikan pelacur.

Kendati demikian, dia mengatakan jika memang ada wanita yang dipaksa menjadi jugu ianfu, maka itu adalah "tragedi perang". Pemerintah Jepang, kata dia, harus berbuat semampunya bertanggungjawab pada para korban.

Budak Seks

Diperkirakan ada sekitar 200.000 budak seks tentara Jepang pada Perang Dunia II. Kebanyakan mereka datang dari Korea Selatan, Filipina, Indonesia dan Taiwan. Menurut situs Ianfu Indonesia, para perempuan di negara jajahan Jepang awalnya dijanjikan sekolah gratis, jadi pemain sandiwara, atau pekerja rumah tangga.

Namun, mereka dibohongi dan dijadikan budak seks untuk para tentara Jepang di medan perang, baik di garis depan maupun belakan pertempuran. Kebanyakan mereka dipaksa melayani nafsu binatang tentara Jepang hingga 10-20 kali sehari, siang dan malam. Mereka dibiarkan kelaparan, kemudian diaborsi paksa bila hamil.

Bagi yang selamat, di masa tuanya penuh derita dengan kerusakan kandungan, pendarahan, sakit jiwa, hidup mengasingkan diri atau dikucilkan masyarakat. Jepang meminta maaf secara resmi pada tahun 1993, namun permintaan maaf ini banyak ditolak oposisi yang mengaku negaranya tidak terlibat langsung pada praktik itu.

Berdasarkan fakta ini, jelas saja banyak kelompok HAM dan politisi yang geram dengan pernyataan Hashimoto. Kantor berita Yonhap mengutip seorang pejabat senior pemerintahan Korea Selatan mengatakan bahwa "Komentar Hashimoto menunjukkan bahwa dia tidak paham sejarah dan tidak menghargai hak asasi manusia."

Kecaman juga datang dari dalam negeri Jepang sendiri. "Sistem jugun ianfu sangat tidak perlu dilakukan. Jepang jelas adalah agresor dalam perang itu, dan ini yang harus kita hadapi," kata Banri Kaieda, presiden partai oposisi, Partai Demokrat.

sumber : vivanews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca Juga

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...